Nama Sultan Pertama Aceh

Nama Sultan Pertama Aceh

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.

SEJUMLAH orang bersila di bawah tenda kecil dalam komplek Gedung Perjuangan, Banda Aceh. Mereka antusias mendengarkan testimoni sejarah yang dipaparkan sejarawan tentang Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1884-1903).

Sebuah tenda terpampang lengkap dengan foto sang sultan di belakang pembicara, bertulis “Peringatan haul, mengenang 77 tahun Sultan Alaidin Muhammad Dawood Syah, sultan terakhir penjaga kedaulatan KerajaanAceh”.

Beginilah suasana mengenang 77 tahun mangkatnya sultan Aceh terakhir digelar komunitas pegiat budaya dan sejarah Aceh, pada Sabtu akhir pekan lalu. Ikut dalam acara ini sejarawan, seniman, pemerhati adat, budaya, jurnalis dan beberapa cucu serta cicit keturunan sultan Aceh.

Koordinator acara, Djamal Sjarief mengatakan, kegiatan ini untuk mengenalkan kembali sosok sultan Aceh kepada masyarakat terutama generasi muda, serta membangkitkan identitas ke-Aceh-an.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, kata dia, berjasa besar dalam mempertahankan kedaulatan Aceh. Pemimpin ke-35 Kerajaan Aceh Darussalam ini tak pernah melepaskan kekuasaannya kepada Belanda, sekalipun dia dan keluarganya ditawan dan dibuang keluar Aceh.

“Makanya kita mengajak generasi muda mengenal sosok beliau, dan kita berharap Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah diakui sebagai pahlawan nasional karena jasanya sangat besar terhadap Aceh dan berdirinya Indonesia,” ujar Djamal.

Salah satu jasa Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah tak menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda, sehingga satu-satunya wilayah nusantara yang tak pernah takluk ke Belanda adalah Aceh.

Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Hag Belanda tahun 1949, Inggris menanyakan mana kawasan yang diklaim Indonesia yang masih bebas dari penaklukan Belanda? Tersebutlah Aceh. “Semua peserta konferensi setuju dan mengakui Indonesia menjadi sebuah negara merdeka,” katanya.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah mangkat dalam tawanan Belanda, pada 6 Februari 1939 di Batavia (Jakarta), dan dimakamkan di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta. Dia merupakan putra Tuanku Cut Zainal Abidin, atau cucu Sultan Alaidin Mansursyah (1857-1870), pemimpin ke-33 Kerajaan Aceh Darussalam.

Sejarawan Aceh, Ramli A Dally mengatakan, Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah merupakan sultan Aceh yang paling berat menghadapi cobaan, karena saat kepemimpinannya Aceh berada dalam kondisi darurat akibat invansi Belanda.

“65 tahun berjuang sejak dalam hutan rimba bergerilya, lima tahun ditawan, 32 tahun dibuang keluar negaranya (Aceh) tanpa pernah menyerahkan sedikitpun negerinya kepada musuh,” kata Ramli.

Menurutnya, satu per satu kerajaan di nusantara takluk ke Belanda, tapi Aceh tak pernah menyerahkan kedaulatannya sejak maklumat perang Belanda terhadap Aceh dikeluarkan pada 1873. “VoC telah merampas 430 kerajaan kecil-kecil di nusantara selama 200 tahun,” sebutnya.

Kerajaan Aceh Darussalam berdiri setelah takluknya Kerajaan Samudera Pasai, sejak abad 15 Masehi. Pemimpin pertama adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Puncak kejayaannya berada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Wilayah kekuasaannya dari Sumatera hingga daratan Malaysia. Aceh, kala itu, masuk dalam lima besar kerajaan Islam terkuat di dunia, bersama Kesultanan Ottoman Turki, Kesultanan Syafawiyah di Persia, dan Kesultanan Moghul di India.

Menurut riwayat, Muhammad Daud Syah diangkat menjadi Sultan Aceh ke-35, pada usia 7 tahun. Ia menggantikan Sultan Alaidin Mahmud Syah yang mangkat karena terkena wabah penyakit kolera, pada 28 Januari 1874.

Saat itu Aceh sedang bergejolak, menghadapi invansi Belanda yang sudah berhasil menguasai Darul Dunia, Istana Kerajaan Aceh di Banda Aceh. Karena istana sudah diduduki Belanda, pusat pemerintahan Kerajaan Aceh pindah ke Indrapuri, Aceh Besar.

Tuanku Muhammad Daud Syah kemudian dikukuhkan sebagai Sultan Aceh dalam sebuah upacara kerajaan di Masjid Indrapuri, Aceh Besar, oleh Dewan Mangkubumi kerajaan yang dipimpin walinya sendiri, Tuanku Hasyim Banta Muda.

Karena usianya belum akil baliq, sultan tak langsung diberi kewenangan memerintah. Dia diwajibkan dididik dulu menguasai ilmu perang dan pemerintahan. Urusan pemerintahan dikendali dewan kesultanan.

Kabinet teras kerajaan saat itu di antaranya Teungku Chik di Tiro sebagai Menteri Perang (Warizul Harb), Teuku Umar selaku Laksamana (Warizul Bahri) dan Nyak Makam ditunjuk selaku panglima urusan Aceh bagian Timur.

Setelah benteng Montasik (Aceh Besar) dikuasai Belanda tahun 1878, pusat pemerintahan Kerajaan Aceh kemudian dipindah lagi dari Indrapuri ke Keumala, Pidie. Ibu kota kerajaan 20 tahun bertahan di sana. Sultan Alaidin Mahmud Syah yang sudah beranjak muda, mulai mengatur pemerintahan di sana.

Pasukan kerajaan Aceh terus memberi perlawanan kepada Belanda di berbagai wilayah. Hingga akhirnya Belanda menculik dua permaisuri sultan dan seorang putra mahkotanya, Tuanku Raja Ibarahim kemudian menawannya. Tak-tik ini dilakukan Belanda untuk memaksa sultan menyerah.

Van Der Maaten, pemimpin pasukan Belanda, kemudian mengirim surat kepada Sultan Muhammad Daud Syah untuk mengajaknya bermusyawarah di Sigli, Pidie, Januari 1903. Sultan menuruti. Celakanya, sultan yang datang dengan beberapa pengawal langsung ditahan. Sultan dibujuk untuk menandatangani surat penyerahan kekuasaan kepada Belanda, tapi ia menolaknya.

“Beliau merobek surat tersebut,” tulis Tim Alis Aceh dalam bukunya berjudul “Sejarah Singkat Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat”.

Sultan dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh), ditawan di sebuah rumah kawasan Keudah. Di balik rumah tawanan, sultan mengatur strategi penyerangan terhadap markas-markas Belanda di Banda Aceh. Dia juga mengirim surat kepada meminta bantuan Kaisar Jepang, mengusir Belanda dari Aceh. Surat dikirim melalui perwakilan Jepang di Singapura.

Aksi sultan akhirnya tercium Belanda. Dia pun diasingkan ke Ambon, Maluku. Namun di Ambon dia malah dianggap sebagai tamu kehormatan dari Aceh, dan ikut mendakwahkan Islam di sana. Beberapa keluarga Raja Samu-Samu malah berhasil diajak masuk Islam.

Belanda yang kesal akhirnya mengasingkan lagi Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah ke Batavia, dan ditawan di sebuah rumah di sana. Dia ngotot, tak mau menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Kerajaan Belanda hingga menghembuskan nafas terakhir dalam tawanan.

return CMS_Setting('judul')

return CMS_Setting('tagline')

TELAH wafatlah Teungku Putroe Safiatuddin Cahya Nur Alam binti Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Muhammad Daodsyah, pada 21 Ramadhan 1439/6 Juni 2018, pukul 06.45 WITA di RS Kota Mataram, NTB. Cahya Nur Alam dimakamkan di kompleks Baperis, Banda Aceh, Aceh sekitar pukul 22.40 WIB, Rabu (6/6/2018).

Wafatnya Cahya Nur Alam mengingatkan kita kembali pada kakeknya, Sultan Alaidin Muhammad Daodsyah. Berikut kami kutip penuh yang diberitakan okezone.com beberapa waktu lalu.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1884–1939) memiliki andil dalam berdirinya Republik Indonesia. Ia mati-matian mempertahankan wilayah kekuasaannya agar tak jatuh ke tangan Belanda. Namun, jasanya kini nyaris terlupakan.

Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh terakhir yang berdaulat. Ia memimpin Kerajaan Aceh Darussalam saat perang berkecamuk. Sebagian besar usianya habis dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan Aceh. Meski tubuhnya ditawan, ia tak pernah mau melepaskan tanah airnya ke penjajah.

Guna mengenang sosok Sultan Muhammad Daud Syah dan jasanya, sejumlah komunitas peduli sejarah Aceh dalam beberapa tahun terakhir rutin menggelar acara haul atau mengenang hari mangkat Sultan di kompleks makam raja-raja Aceh di Banda Aceh.

Pamong budaya Komunitas Peubeudoh Sejarah, Adat, dan Budaya Aceh (Peusaba) Djamal Syarief mengatakan aksi itu dilakukan pihaknya secara sukarela untuk mengajak masyarakat terutama generasi muda mengenal sosok dan perjuangan Sultan.

“Kita berharap Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah diakui sebagai pahlawan nasional karena jasanya sangat besar terhadap Aceh dan berdirinya Indonesia,” ujar Djamal, beberapa waktu lalu.

Salah satu jasa Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah tak menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda, sehingga satu-satunya wilayah Nusantara yang tak pernah takluk ke Belanda saat itu adalah Aceh.

Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Hag, Belanda, pada 1949, Inggris menanyakan mana kawasan yang diklaim Indonesia yang masih bebas dari penaklukan Belanda? Tersebutlah Aceh.

“Semua peserta konferensi setuju dan mengakui Indonesia menjadi sebuah negara merdeka,” kata Djamal.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah merupakan putra Tuanku Cut Zainal Abidin. Ia cucu dari Sultan Alaidin Mansur Syah (1857–1870), raja ke-33 yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam.

Sejarawan Aceh, Ramli A Dally (meninggal dunia pada Selasa 22 Mei 2018), mengatakan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh yang paling berat menghadapi cobaan. Sebab saat kepemimpinannya, Aceh berada dalam kondisi darurat akibat invansi Belanda.

“(Selama) 65 tahun berjuang sejak dalam hutan rimba bergerilya, lima tahun ditawan, 32 tahun dibuang keluar negaranya (Aceh) tanpa pernah menyerahkan sedikit pun negerinya kepada musuh,” kata Ramli, semasa hidupnya.

Ia mengatakan, satu per satu kerajaan di Nusantara takluk ke Belanda selama 200 tahun mereka menguasai Hindia Belanda. Tapi, Kerajaan Aceh tak pernah menyerahkan kedaulatannya sejak Belanda mengeluarkan maklumat perangnya terhadap Aceh pada 1873.

“VOC telah merampas 430 kerajaan kecil-kecil di Nusantara selama 200 tahun,” tutur Ramli, semasa hidupnya.

Kerajaan Aceh Darussalam berdiri setelah takluknya Kerajaan Samudera Pasai sejak abad 15 Masehi. Pemimpin pertama Kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514–1530). Puncak kejayaannya berada pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607–1636).

Wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam mulai dari Sumatera hingga semenanjung Malaysia. Aceh, kala itu, masuk dalam lima besar kerajaan Islam terkuat di dunia, bersama Kesultanan Ottoman Turki, Kesultanan Syafawiyah di Persia, dan Kesultanan Moghul di India.

Kerajaan Aceh Darussalam juga pernah empat kali dipimpin oleh sultanah atau raja perempuan.

Saat Tuanku Muhammad Daud Syah masih bocah, Kerajaan Aceh Darussalam dalam kondisi genting akibat perang. Ia diangkat menjadi sultan ke-35 Aceh pada usia 7 tahun, menggantikan Sultan Alaidin Mahmud Syah yang mangkat karena terkena wabah penyakit kolera, pada 28 Januari 1874.

Saat itu Aceh sedang bergejolak menghadapi invansi Belanda yang sudah berhasil merebut Darul Dunia, Istana Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di Banda Aceh. Dikarenakan istana sudah diduduki Belanda, pusat pemerintahan Kerajaan Aceh pindah ke Indrapuri, Aceh Besar.

Tuanku Muhammad Daud Syah kemudian dikukuhkan sebagai Sultan Aceh dalam sebuah upacara kerajaan di Masjid Indrapuri, Aceh Besar, oleh Dewan Mangkubumi Kerajaan yang dipimpin walinya sendiri, Tuanku Hasyim Banta Muda. Usai dilantik, ia menyandang gelar Sultan Alaidin.

Karena usianya belum akil baliq, sultan tak langsung diberi kewenangan memerintah. Dia diwajibkan dididik dulu menguasai ilmu perang dan pemerintahan. Urusan pemerintahan dan negara dikendali Dewan Kesultanan.

Kabinet teras Kerajaan Aceh Darussalam saat itu di antaranya Teungku Chik di Tiro sebagai Menteri Perang (Warizul Harb); Teuku Umar selaku Laksamana (Warizul Bahri); dan Nyak Makam ditunjuk selaku panglima urusan Aceh bagian timur.

Perang masih terjadi di mana-mana. Pasukan Aceh tiada henti menyerang serdadu Belanda. Lewat pertempuran sengit di Montasik, Aceh Besar pada 1878, Belanda akhirnya menguasai benteng Montasik.

Karena lokasinya mulai dekat dengan konsentrasi musuh, dewan kesultanan akhirnya memutuskan agar pusat pemerintahan Kerajaan Aceh dipindah lagi dari Indrapuri ke Keumala, Pidie.

Selama 20 tahun, Keumala menjadi Ibu Kota Kerajaan Aceh. Sultan Alaidin Mahmud Syah yang sudah beranjak muda saat itu, mulai mengatur pemerintahan dan negara di Keumala.

Pasukan kerajaan Aceh terus memberi perlawanan kepada Belanda di berbagai wilayah. Karena tak mampu mengalahkan tentara Aceh, serdadu Belanda akhirnya menculik dua permaisuri sultan dan seorang putra mahkota, Tuanku Raja Ibarahim. Mereka disandera. Strategi itu dilakukan Belanda untuk memaksa Sultan Muhammad Daud Syah menyerah.

Saat ratu dan putra mahkota ditawan, pemimpin pasukan Belanda, Van Der Maaten, kemudian mengirim surat kepada Sultan Muhammad Daud Syah, untuk mengajaknya bermusyawarah di Sigli, Pidie, pada Januari 1903.

Sultan akhirnya menuruti ajakan musyawarah itu. Ia pun datang dengan beberapa pengawalnya. Celakanya, begitu sampai di tempat yang dituju, sultan dan pengawalnya langsung ditahan pasukan Belanda.

Sultan Muhammad Daud Syah dibujuk untuk menandatangani surat penyerahan kekuasaan Aceh kepada Belanda, tapi ia langsung menolaknya.

“Beliau merobek surat tersebut,” tulis Tim Alis Aceh dalam bukunya berjudul “Sejarah Singkat Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat”.

Sultan Muhammad Daud Syah lalu dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh sekarang) dan ditawan di sebuah rumah di kawasan Keudah. Di balik rumah tawanan itu, sultan masih mengatur strategi penyerangan terhadap markas-markas Belanda di Banda Aceh.

Sultan juga mengirim surat kepada Kaisar Jepang, meminta agar membantu pasukannya mengusir Belanda dari Aceh. Surat itu dikirim melalui perwakilan Jepang di Singapura.

Aksi sultan akhirnya tercium pihak Belanda. Van Heutz, pemimpin Belanda saat itu berang dan memutuskan mengasingkan Sultan Muhammad Daud Syah ke Maluku. Alih-alih sebagai tawanan perang, Sultan Muhammad Daud Syah malah disambut warga hangat di Ambon.

Menurut sejarawan Aceh, Abdurrahman Kaoy, saat diasingkan ke Maluku, Sultan Muhammad Daud Syah dianggap sebagai tamu kehormatan oleh Raja Samu-Samu yang berkuasa di sana. “Sultan kemudian mendakwahkan Islam, membawa syiar Islam di sana,” ujarnya.

Karena jatuh cinta dengan Islam dan tersentuh dengan merdunya bacaan Alquran Sultan Muhammad Daud Syah, kata Abdurrahman, maka beberapa keluarga Raja Samu-Samu kemudian bersedia masuk Islam.

“Belanda makin marah, akhirnya Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat diasingkan lagi ke Batavia (Jakarta sekarang),” tutur Abdurrahman Kaoy.

Saat ditawan di Batavia, kata dia, Pemerintah Belanda berulang kali meminta agar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah menyerahkan kekuasaan Aceh secara resmi kepada Belanda. Tapi, Sultan tetap pada pendiriannya; menolak Aceh dikuasai Belanda.

Ia hanya menyerahkan tubuhnya ke Belanda, tapi tidak membiarkan harga diri dan kedaulatan negaranya takluk ke musuh. Sikap itu dipertahankan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah sampai ajal menjemputnya pada 6 Februari 1939. Ia mangkat dalam tawanan Belanda di Batavia dan dimakamkan di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur.

Pusaranya kini kerap tak terurus. Tak ada juga gelar pahlawan nasional untuk Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah.[]Sumber:okezone

Editor: THAYEB LOH ANGEN

Aceh Sultanate founder

High SchoolArts & HumanitiesHistory

The question assesses knowledge of the founder of the Aceh Sultanate and their role in establishing the sultanate's power and influence.